Senin, 28 Oktober 2013

Saatnya Menjadi Muslim Paling Utama!

Saatnya Menjadi Muslim Paling Utama!


Sejujurnya, setiap jiwa menghendaki sesuatu yang paling utama. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin menikah, tentu ia akan mencari calon yang paling baik untuk menjadi pendamping hidupnya. Hal ini wajar dan manusiawi, asalkan semua itu tetap dalam rangka kesempurnaan iman, bukan hawa nafsu.
Hal serupa juga bisa kita temui dalam dunia olahraga, katakanlah sepakbola. Semua tim, tentu ingin menjadi juara, dan setiap pemain ingin menjadi yang terbaik. Ini adalah fitrah manusia. Selalu ingin menjadi yang terbaik.

Nah, sebagai Mukmin kita juga mesti memiliki motivasi dan semangat tinggi untuk menjadi yang terbaik, tidak saja dalam hal profesi atau pun keahlian dan pendidikan, tetapi dalam konteks yang lebih mendasar, yakni dalam hal keimanan, sehingga kita berkesempatan besar meraih titel terbaik sebagai Mukmin yang paling utama.


Sama dengan proses dan penilaian serta penetapan kriteria dalam setiap pemilihan dan penentuan yang terbaik, menjadi Mukmin yang paling utama pun juga demikian. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibn Amr.


“Orang Mukmin yang paling utama keislamannya adalah mana orang-orang Muslim selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya dari orang-orang Muslim lainnya; orang Mukmin yang paling utama keimanannya adlah orang yang paling baik di antara mereka perangainya; orang berhijrah yang paling utama adalah mereka yang berhijrah dari segala sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala; dan jihad yang paling utama ialah orang yang berjihad (mengendalikan) nafsunya dalam Dzat Allah.” (HR. Thabrani).



Artinya untuk menjadi Mukmin yang paling utama kita tidak perlu ikut sebuah kompetisi atau pun ajang penampilan apa pun, tetapi cukup dengan fokus menempa diri menjadi Muslim yang tangan dan lidahnya tidak menyakiti orang lain. Baik perangainya dan lebih sering mengevaluasi diri sendiri ketimbang membeberkan keburukan orang lain tanpa alasan yang dibenarkan syariat.


Untuk mencapai derajat tersebut, di dalam Al-Qur’an juga diuraikan secara gamblang tentang bagaimana sifat-sifat Mukmin yang utama itu. Bagaimana kebiasaan mereka dalam siang dan malam, apa yang paling sering mereka mohon dari Allah Ta’ala, serta bagaimana mereka membelanjakan hartanya.



Raihlah Sifat-Sifat Hamba Allah


Dari hadits tersebut dapat ditarik beberapa poin bahwa, untuk menjadi Mukmin yang paling utama kita harus benar-benar menjaga lisan dan tangan, kemudian benar-benar menjaga akhlak, berhijrah dan berjihad.


Secara spesifik sifat Mukmin yang utama itu Allah Ta’ala uraikan dalam Surah Al-Furqan ayat 63 hingga ayat 67.


Pertama, Mukmin yang utama itu memiliki sifat rendah hati alias tidak sombong, sehingga lisan dan tangannya tidak mungkin akan berbuat jahat.


خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَاماً

“Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati,” (QS. 25: 63).

Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud adalah orang Mukmin yang hidup dengan ketentraman dan kewibawaan, tanpa otoriter dan kesombongan, seperti Allah tegaskan dalam Surah Luqman ayat 18, “Dan janganlah kamu berjalan di  muka bumi dengan angkuh.”

Kedua, tidak mengatakan apa pun, bahkan terhadap orang bodoh sekali pun selain kebaikan (keselamatan.


وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذَا

“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. 25: 63).

Artinya, hamba Allah itu apabila mendapat umpatan, cacian, hinaan dan makian selalu segera membuka pintu maaf lalu membiarkannya. Bahkan enggan untuk terprovokasi lalu membalas ucapan buruk itu dengan keburukan yang sama. Justru balasan yang diberikan adalah perkataan yang baik.


Ketiga, senantiasa bangun di tengah malam.


وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِيَاماً

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka” (QS. 25: 64). 

Mukmin yang paling utama itu senantiasa bangun di malam hari untuk bersujud, taubat, dan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala.

Bahkan dalam ayat yang lain Allah tegaskan,


كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampunan.” (QS. 51: 17-18).

Keempat, senantiasa memohon kepada Allah agar dijauhkan dari adzab neraka Jahannam. “Dan orang-orang ang berkata;

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَاماً

“Ya Rabb kami, jauhkanlah adzab Jahannam dari kami, sesungguhnya adzab-Nya itu adalah kebinasaan yang kekal.” (QS. 25: 65).

Artinya, Mukmin yang paling utama itu memiliki sifat sangat hati-hati dalam kehidupannya, jangan sampai apa yang diucapkan dan dilakukan justru menjerumuskannya pada siksa api neraka Jahannam. Jadi, ada kewaspadaan tingkat tinggi agar tetap dalam iman dan Islam.


Kelima, senantiasa berinfak di jalan Allah dengan prinsip pertengahan, yakni tidak terlalu sering atau banyak namun juga tidak terlalu jarang atau sedikit. “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir” (QS. 25: 67).


Menurut Ibn Katsir yakni tidak terlalu boros dalam mengeluarkan infak, melainkan selalu diatur sesuai kebutuhan, tidak membiarkan keluarga mereka, menurunkan hak-hak keluarga mereka, mereka berlaku adil dan baik, dan sebaik-baik perkara adalah pertengahan, tidak boros (berlebihan) dan tidak kikir (kurang).


Namun demikian Hasan Al-Bashri berkata, “Tidak ada istilah berlebihan dalam berinfak di jalan Allah.” Sementara itu Iyas bin Mu’awiyah berkata; “Apa yang dibolehkan dalam (melaksanakan) perintah Allah Ta’ala adalah berlebihan (dalam infak).” Sebaliknya, istilah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta menurut Ibn Katsir hanya ketika seseorang bermaksiat kepada Allah Ta’ala.


Dengan kelima sifat-sifat hamba Allah tadi, tentu tidak ada waktu lagi bagi seorang Muslim dalam 24 jam untuk berpikir, apalagi berniat dan berencana lalu berbuat zalim. Berkata tidak penting (buruk), berbuat kejam, aniaya dan zalim, lebih-lebih memelihara kebodohan dan kesombongan.


Sungguh detik demi detik yang dilaluinya akan digunakan sepenuhnya untuk bagaimana bisa sukses menjadi Mukmin yang paling utama di sisi-Nya. Karena tidak ada perkara yang paling penting daripada menjadi Mukmin yang paling utama di sisi-Nya.*/Imam Nawawi


sumber:

http://www.hidayatullah.com/read/2013/10/03/6654/saatnya-menjadi-muslim-paling-utama.html

Tidak ada komentar: