Selasa, 26 Maret 2013

Kiat Tawadhu'


Kiat Tawadhu'

Barang siapa tawadhu' di dunia karena Allah, maka Allah 
mengangkat (derajat)nya pada hari kiamat. 
(HR. Al Baihaqi, shahih lighairihi)

Tawadhu’ berasal dari kata tawadha'a-yatawadha'u-tawadhu'an yang artinya merendahkan diri, rendah hati, atau meletakkan di bawah. Pengertian terakhir itu senada dengan wadha'a yang artinya tempat atau letak. Secara istilah, tawadhu' berarti menganggap orang lain lebih mulia dari diri kita dan tidak merendahkan mereka. Tawadhu' lebih dekat dengan istilah rendah hati dalam bahasa Indonesia, tetapi ia bukan sikap minder atau rendah diri.

Bagaimana kiat agar kita mudah tawadhu'? Intinya adalah bagaimana kita bisa melihat sisi-sisi kebaikan dan keunggulan orang lain sehingga kita dapat belajar dari kemuliannya sekaligus tidak merasa lebih mulia darinya.

Ketika bertemu dengan orang yang lebih muda, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih muda dariku, tentu dosa-dosanya lebih sedikit dibandingkan denganku. Kemaksiatannya belum sebanyak diriku."



Ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih tua dariku, tentu amal-amalnya lebih banyak dariku. Ia telah beribadah lebih lama dari diriku."

Ketika bertemu dengan orang yang lebih kaya, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih kaya dariku, Ia telah dikaruniai sesuatu yang dengannya. Ia bisa berzakat dan bersedekah. Infaq dan jihad hartanya tentu lebih banyak dariku."

Ketika bertemu dengan orang yang lebih miskin, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih sedikit hartanya dibandingkan diriku. Ia lebih mudah dan lebih singkat hisabnya dari diriku, dan lebih besar pahala sabarnya dibandingkan denganku."

Ketika bertemu dengan orang yang pandai, katakan pada diri kita: "Orang ini lebih banyak ilmunya dariku. Ia lebih alim dari diriku dan dengan ilmunya Allah meninggikan derajatnya."

Ketika bertemu dengan orang yang bodoh, katakan pada diri kita: "Ketika orang ini bermaksiat, dosanya lebih ringan dariku. Sebab ia bermaksiat dalam kebodohannya, sedangkan aku bermaksiat padahal aku mengetahui ilmunya."

Ketika bertemu dengan anak muda yang telah bergabung dengan dakwah, katakan pada diri kita: "Pemuda ini sungguh luar biasa. Ia telah mendapatkan hidayah dan aktif berdakwah sejak muda. Sungguh pahalanya telah mengalir sejak usia muda yang saat di usia itu aku belum ada apa-apanya."

Ketika bertemu dengan orang tua yang baru bergabung dengan dakwah, katakan pada diri kita: "Orang tua ini sungguh beruntung. Ia mendapatkan hidayah Allah di penghujung usianya. Sedangkan diriku, sanggupkah aku istiqamah hingga di usia senja sepertinya?"

Ketika bertemu dengan ikhwah yang tilawahnya banyak, katakan pada diri kita: "Ikhwah ini tilawahnya lebih banyak dariku. Pahala dan kebaikannya juga lebih banyak dariku karena tiap huruf diganjar sepuluh kebaikan."

Ketika bertemu dengan ikhwah yang tilawahnya sedikit, katakan pada diri kita: "Ikhwah ini tilawahnya lebih sedikit dariku. Mungkin ia mentadabburi ayat demi ayat yang dibacanya, maka ia lebih utama karena kualitasnya daripada kuantitas tilawahku."

Ketika bertemu dengan ... katakan pada diri kita ...

Silahkan Anda yang meneruskan, karena pengalaman Anda insya Allah lebih banyak dan lebih memperkaya kiat tawadhu' untuk kita bersama. [Muchlisin] http://www.bersamadakwah.com

Sabtu, 23 Maret 2013

Enam Perusak Ukhuwah




Enam Perusak Ukhuwah
oleh Drs. H. Ahmad Yani

“Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]

Pada masyarakat Islam, persatuan dan kesatuan atau lebih sering disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran keimanan yang sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang pertama dilakukannya adalah Al-Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau kaum Anshar. Ini berarti, ketika seseorang atau suatu masyarakat beriman, maka seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman menjelma dalam kehidupan sehari-hari, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]

Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat (49): 6]

Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.

Sementara itu, Rasulullah saw. mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”

Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat itu.

Surat Al Hujurat ayat 6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”

Enam Perusak Ukhuwah

Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Hujurat (49): 11-12]

Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara:

Pertama, memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita.

Kedua, mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.

Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.

Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.

Kelima, mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa memperbaiki diri sendiri.

Keenam, bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/10/278/enam-perusak-ukhuwah/#ixzz2I7hTk0Yl

Jumat, 15 Maret 2013

Mengapa Ibadah Hambar?




Mengapa Ibadah Hambar?
oleh :  Ahmad Mudzoffar Jufri

dakwatuna.com - Mengapa kebanyakan kita sangat tidak mudah untuk bisa merasakan nikmatnya keimanan, lezatnya ketaatan, khusyuknya peribadahan dan manisnya amal kebajikan? Umumnya karena level keberagamaan yang masih bersifat setengah-setengah, atau bahkan lebih rendah lagi.
Level dan sifat keberagamaan mayoritas kita umumnya masih berada di tataran seremoni (semangat peringatan-peringatan), atau formalitas, atau maksimal wacana pemikiran teoritis belaka. Padahal keimanan dan keislaman sejati itu seharusnya benar-benar bisa merasuk ke hati, menyatu dengan jiwa, dan mewujud dalam rasa cinta dan ridha nan nyata.
Agar bisa merasakan nikmatnya amal saleh dan khusyuknya ibadah, kita memang harus beragama setotal mungkin. Dan syarat mutlaknya adalah, hawa nafsu harus mampu ditundukkan dan dikendalikan.  Karena selama masih ada hawa nafsu tertentu yang secara permanen atau hampir permanen selalu diperturutkan, selama itu pula sikap ogah-ogahan akan senantiasa menyertai pelaksanaan setiap amal saleh dan penunaian setiap ibadah. Karena umumnya ketaatan itu memang masih disikapi sebagai beban berat yang harus ditanggung dan dilepaskan, dan belum dirasakan sebagai kebutuhan hidup yang dirindukan rasa nikmatnya dan buah lezatnya.